JODOH TERINDAH
Seminggu lagi, aku akan menikah, tetapi hari ini aku masih di
sini, kota besar, sendiri memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil,
tidak ada pekerjaan, tidak ada apa-apa selain, handphone murah, dan oh...
handphoneku ini juga tak ada pulsanya…
Sewa kontrakan pun belum aku bayar, tetapi aku akan menikah
seminggu lagi. Acaranya sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di
rumah keluarga gadis itu, dan aku juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang tuaku
yang mengaturnya, dan aku masih berpikir, mengapa orang tua gadis itu mau
menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki seperti aku.
Aku lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, aku tidak tahu
bagaimana harus menjawab. Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di
hotel, membantu kawan-kawan yang berjualan online di internet, dan sesekali
mengikuti seminar MLM. Kebanyakan waktu dihabiskan duduk-duduk di kontrakan,
menatap surat kabar untuk mencari kerja. Lalu, atas atas dasar apa ayah dan ibu
gadis itu, mau menikahkan anaknya denganku, dan hantaran kawinnya, cuma
senaskah Al Quran, dan mas kawin cuma Rp250.000. Lebih mengherankan, semua
biaya acara ditanggung oleh keluarga si gadis.
Kenapa? Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang tua gadis itu,
mengawinkan aku dengan anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung rapi.
Ya, aku sudah melihat fotonya, dan karena kecantikannya, aku walaupun dengan
semua keheranan itu, setuju juga dengan pernikahan yang diatur oleh keluarga
ini. Ditambah, perempuan itu lulusan universitas luar negeri, berkerja sebagai
pegawai negeri yang gajinya, cukup untuk membayar angsuran mobil BMW.
Pada mulanya, aku pikir aku ibarat tikus yang jatuh ke dalam
gudang beras, tapi ketika acara semakin dekat, aku mulai berpikir, mungkin ada
yang disembunyikan oleh keluarga si gadis. Apakah foto yang diberi sama dengan
wajah asli perempuan itu? Apakah perempuan itu sebenarnya janda? Atau yang
paling menakutkan, jangan-jangan perempuan itu sedang mengandung anak orang
lain, dan aku menjadi 'ayah' untuk anak itu.
Dari sinilah kisahku dimulai…Tengah hari itu aku nekat pulang ke
kampung halaman. Aku nekat, mencari tahu latar belakang calon istriku, dan
mengapa ibu bapaknya, mau melepaskan anaknya kepada laki-laki seperti aku.
Cuma, aku tidak tahu bagaimana cara untuk mencari tahu. Selama di dalam bus,
aku beruntung duduk di sebelah seorang laki-laki yang ramah.
Kepada
laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana
cara cari tahu latar belakang calon istri kita?”
“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari
saja nama lengkapnya di internet. Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau
susah, pergi tempat kerjanya, tanya kawan-kawannya, atau tanya
saudara-saudaranya.”
Untuk mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama
lengkapya saja aku tidak tahu. Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa
banyak orang punya nama Sarimah di internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat
kedua dari laki-laki itu, tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur aku tahu
gadis itu bekerja di kantor Bappenas.
Sampai di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke kantor
Bappenas. Aku tidak tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, pasti
banyak orang yang namanya sama. Tetapi agak tidak logis juga kalau aku langsung
masuk ke kantor dan bertanya tentang calon istriku. Lalu akhirnya aku ambil
keputusan menunggu dan memperhatikan di seberang jalan.
Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan
kawan-kawannya akan keluar, dan apabila sudah ingat wajah kawan-kawannya,
setelah pulang nanti boleh lah saya tanya tentang Sarimah. Itulah rencanaku,
rencana yang diatur dengan baik. Lalu aku pun duduk di atas motor menghadap
kantor Bappenas yang cuma satu beberapa meter di depanku. Kemudian datang pula
rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi, cuaca sudah terik. Di situ belum ada
pohon yang rindang, karena semuanya baru saja dipangkas dahannya. Sudah panas
terik, satpam di luar kantor mulai memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah
orang yang lalu lalang di situ turut memperhatikan.
Aku lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang tidak
biasa akan jadi perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan perkara
biasa. Nampak terlalu aneh. Akhirnya, aku semakin menyesal karena dari jauh aku
lihat seorang perempuan keluar dari kantor. Semakin dekat perempuan itu,
semakin aku berdebar. Wajahnya semakin jelas, dengan kerudung kuning muda, dan
baju kurung biru muda. Dia adalah calon istriku, yang Cuma aku kenal namanya.
Sarimah. Hanya itu.
Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi
dari situ. Tetapi semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata,
“Kamu
Salman?”
Aku memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku buat.
Lebih terpaksa daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa
sekolah dahulu.
“Ya,
saya. Kok kamu bisa tahu?”
“Kawan
di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di sebearang jalan. Mereka
menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir wajahmu sama dengan foto
yang ditunjukkan oleh ibu.”
Satu kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul
caraku mencari informasi ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan
ternyata wajah aslinya jauh lebih cantik daripada wajah di foto. Mungkin karena
itu pass foto. Orangtuanya pun hanya memberikan satu foto. Entahlah, ibu dan
ayahku pun mungkin memberikan pass fotoku. Ketika itu juga aku merasa jantungku
berdebar, karena saat mengambil foto itu, aku baru saja bangun tidur. Aku
perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada tanda-tanda perempuan
mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya menyilang menutupi
perutnya, dan aku malu karena ketahuan memperhatikan perutnya. Pasti dia sadar
kalau aku memperhatikan perutnya, entah apa yang dia pikirkan sekarang. Aku
rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani untuk keluar berjumpa
denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak berani. Barulah aku sadar,
inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku. Pertemuan dalam keadaan yang
agak aneh.
Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi
jalan raya, sambil memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk dipandang.
Aku memandang ke ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah motor ayahku. Aku
tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai laki-laki perlu menunjukkan
contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas berpikir dan
memberanikan diri, aku berkata,
“Sudah
makan?”
“Saya
sedang diet.”
Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau dia
bilang, ayo kita makan, aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam dompetku
cuma ada uang dua puluh ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan kembali
sepi.
“Aku
mau kembali ke kantor dulu yah,” kata
Sarimah sopan dan membuatku lega.
“oh
iya, Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak
berlangsung lama. “
“Malam
ini datanglah ke rumah.”
“Datang
ke rumahmu?”
“Iya, makan
malam dengan keluargaku sekaligus silaturahmi”
Aku
terdiam. Berdebar-debar.
“Jemputlah
sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada halangan.”
“Baiklah,
selepas maghrib insya Allah aku sampai dirumahmu”
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati dengan
diriku. Mengapa aku tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah aku
banyak bertanya dan mencari tahu kenapa dia dan keluarganya memilih aku. Cuma
malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, aku bisa tanya
ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku sekaligus? Tidak.. Tidak....
Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada ibu, habis semua rahasia anaknya dia
ceritakan. Beliau senang sekali menceritakan rahasia anaknya. Lagipula aku ada
banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya tahu. Rahasia yang
paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah hampir setiap bulan aku masih
meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan, tetapi untuk pergi seorang diri,
aku juga tidak berani. Akhirnya, aku punya ide paling bagus. Aku melajukan
motor ayah langsung ke rumah kawan lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama,
tetapi juga sahabat karib. Aku yakin dia ada di rumah, karena dia juga senasib
denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia bertarung hidup di kampung, dan
aku bertarung hidup di kota.
Sesampainya di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di tangga
sambil bermain gitar. Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui. Aku tidak
pandai bermain gitar, bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi rupanya
kemahiran Rudy yang tidak aku miliki. Rudy pandai menggoda gadis dengan bermain
gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan dengan perempuan, tidak seperti aku.
Itulah akibatnya, aku tidak punya keyakinan apabila berhadapan dengan
perempuan.
“Lama
banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di sebelahnya.
“Masa
lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”
“itu
bukannya sangat Lama huh..”
Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock
terkenal, 'Suci Dalam Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya
menemaniku malam ini, tetapi belum ada kata yang bagus.
“Aku
dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?”
kata Rudy, dan itu secara tidak langsung memberikanku jalan
untuk melaksanakan rencanaku.
“Ini
acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat perempuan aja.”
“Kerabatmu
gimana?”
Aku diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab
dengan keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun aku tidak mampu.
“Lihat
nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”
Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele
pula, 'Someone like you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang
dia
mainkan saat ini.
“Dia
cantik gak?”
Rudy
memandang dengan senyuman penuh berharap.
“Cantik.”
“Cantik.”
“Gimana
bisa kenal dia?”
Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya. Harapan jenis apa
aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku bahagia. Walaupun aku merasa
seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku mendapatkan gadis cantik.
“Ayah
dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”
“Kau belum
pernah ketemu dia?”
“Baru
tadi.”
“Memang
dia cantik?”
“Memang
cantik.”
Rudy
kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.
“Apa pekerjaannya?”
“Apa pekerjaannya?”
“Pegawai
di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia
punya
jabatan cukup tinggi.”
“Hmm...
Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu?
Heran.”
Aku
menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar.
Dia pandangi wajahku.
Rudy
menyambung,
“Kau, ganteng
juga nggak. Heran-heran.”
Aku
tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan itu pun sebenarnya
merisaukanku juga.
“Kau tidak
heran?” tanya Rudy.
“Ya
heran juga sih.”
“Kau sudah
periksa latar belakang perempuan itu?”
Aku
pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.
“Malam
ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”
“Hah? Buat
apa?” Rudy memandang heran.
“Dia
ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya.
Nanti
itu, baru akan aku cari tahu latar belakangnya.”
“Kau pergi
sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.
“Kamu
kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani aku. Kamu
kan
berani, mungkin kamu bantu aku kepo juga.”
“Kepo?
Kepoin apa?”
“Tanyain
lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam
dunia
percintaan. Pasti bisa bantu aku.”
Akhirnya,
setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.
***
Malam
itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja aku tersesat. Aku
sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat makanan sudah
terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin perut Sarimah dan
orang tuanya juga sudah lapar.
“Maafkan
saya karena terlambat.”
“Gak
apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku.
Mungkin dia adalah ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.
“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat bener baliknya?”
“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat bener baliknya?”
tegur
seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu Sarimah.
“Ada
yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata, “Kenalkan ini
kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian,
Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik.
Tertegun
aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung
kamu,” bisik Rudy.
Selepas
makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, aku
lirik-lirik
Rudy supaya mulai menjalankan rencananya.
“Kata
Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya. Malah dengan
Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai berdebar-debar.
“Iya,
ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass
foto
yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
Aku
semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah, sudah! Matilah aku!
“Tidak
sangka, orang aslinya ganteng juga.”
sambung
ibu Sarimah.
Aku
mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji aku tampan.
Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah
hanya
ingin menjaga perasaanku.
“Itulah
saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak nyangka, zaman
sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh orang tua. Apa rahasianya
Pak?”
Rudy
memang tidak menunggu lama, terus saja dia bertanya sambil ketawa-ketawa kecil.
Jadi, walaupun ini persoalan serius, tetapi ia Nampak
seperti
bergurau.
“Tidak
ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan
menggeleng. Lalu aku bilang,
“Sebenarnya
saya pun tidak tahu apa-apa.”
“Kamu
tidak tanya ayah dan ibumu?”
Pada
saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak tanya pun
kepada
ayah dan ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu,
ibuku
cuma tanya,
“Mau ibu carikan kamu jodoh?” Aku
pun menjawab,
“Boleh.”
Tiba-tiba,
dua minggu kemudian, aku sudah bertunangan dan dalam satu bulan akan menikah.
Itupun tunangan pakai uang ibuku. Memalukan betul.
“Saya
tidak tanya.”
Ayah
Sarimah mulai ketawa kecil.
“Begini,
saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal. Suatu hari, ngobrol-ngobrol di
kedai kopi, kami bercerita tentang anak masing-masing, kemudian bercerita
tentang jodoh, dan akhirnya, terus kepada rancangan mau menjodohkan anak
masing-masing. Setelah itu, inilah yang terjadi,”
jelas
ayah Sarimah.
“Begitu
saja Pak? Mudah sekali ya!”
Rudy
nampak terkejut, dan aku pun sebenarnya agak terkejut juga. Ya, mudah sekali
ternyata.
Ibu
dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.
Ayahnya
berkata,
“Tidaklah
semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk anak bungsu
kami.
Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”
“Jadi
Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?”
tanya
Rudy, membuat aku geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat malu.
Tiba-tiba aku berdoa supaya tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa
menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh tubuhku di balik bantal.
“Tahu,”
jawab
ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.
“Jadi?”
“Jadi?”
Rudy
bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa, sebenarnya Rudy mau bilang, “Jadi,
mengapa masih pilih Salman?” Mungkin karena tidak sampai hati, dia
cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku tahu betul sebab
sudah lama aku kenal Rudy.
“Itulah
yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan, tidak ada
pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari ibunya. Tetapi,
dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami yang baik.”
Ayah
Sarimah tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku dengan wajah serius. Aku
terus menunduk malu. Malunya aku. Rupanya mereka sudah tahu kalau aku ini masih
minta duit selama berbulan-bulan kepada ibuku.
“Jadi?”
Rudy
sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.
“Ayahnya
juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua kali seminggu.
Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya pun tidak menentu
dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat gaji, ayahnya memberitahu,
dia tidak pernah lupa memberikan sedikit kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus
ribu. Jadi, bayangkan
walaupun
hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau membantu orang tua.
Itulah namanya tanggungjawab!”
Aku
tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku menceritakan
perkara
itu juga kepada ayah Sarimah.
“Ooo...
Tanggungjawab,”
Hanya
itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.
Ayah
Sarimah menyambung perkataannya,
“Tanggungjawab
itu, bukan saat kita kaya saja. Tanggungjawab itu adalah sesuatu yang kita
pegang disaat kita susah dan disaat kita senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak
selamanya senang. Lebih banyak saat susahnya. Jadi, Bapak akan lega, karena
tahu anak Bapak berada dalam tangan laki
laki
yang bertanggung-jawab.”
“Betul
juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah lupa shalat dan
tidak punya pacar, karena dia takut perempuan, hehe.”
tambah
Rudy yang membuat aku tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.
“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.
“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.
“Susah mau
cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua mau menantu kaya,”
tambah
Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba murung. Mungkin dia sedang bercerita
tentang dirinya sendiri secara tidak sadar.
“Dulu,
waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak juga orang
susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu Sarimah itu anak
orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri Bapak termasuk yang
terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang kepada orang yang susah,
sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang penting, dia susah bukan karena
dia malas, tetapi karena memang belum rezeki. Beda sekali, orang malas dengan
orang yang belum ada rezeki. Kalau susah karena duduk-duduk di rumah dan tidur
berguling-guling, memang Bapak tidak akan terima,”
jelas
ayah Sarimah dengan panjang lebar.
Aku
berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan ibu Sarimah.
Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang. Perlahan
lahan
juga, perasaan curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.
“Anak
Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang, biasanya semuanya
sudah punya pacar,”
kata
Rudy. Aku tahu, Rudy juga sedang memasang umpan untuk mengetahui latar belakang
Sarimah sekaligus. Aku kembali berdebar-debar.
“Alhamdulillah.
Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti Sarimah. Awalnya, Bapak khawatir
juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah bilang setuju. Cuma Bapak tidak tahu
apa yang membuat diadia setuju, mungkin Salman bisa tanya dia sendiri setelah
menikah nanti,”
kata
ayah Sarimah, lalu dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal aku dan
Sarimah saja yang duduk diam-diam malu. Sempat aku melirik Sarimah, dan
bertanya dalam hati,
“Mengapa
kamu mau dengan lelaki seperti aku?'
***
Alhamdulillah.
Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah menjadi suami Sarimah, dan setelah
bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku kepada Sarimah mulai
berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'. Lalu setelah resepsi, aku
dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan untuk pertama kalinya.
Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku bertemu
ayah dan ibu Sarimah. Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan dengan lidah,
“Sayang,
mengapa kamu setuju untuk menikah dengan laki-laki sepertiku? Laki-laki yang
belum tentu masa depannya, dan mungkin juga membuat dirimu menderita.”
Tidak
kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari
pertanyaan dalam hati.
Sarimah
yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku lalu mencium tanganku, dan
berkata,
“Ampuni
Sarimah bang, ampuni Sarimah.”
Aku
mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.
“Ampuni
apa sayang?”
“Sebab,
Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah sempat tidak yakin
dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan Sarimah, yang kebetulan tinggal
bersebelahan dengan Abang di kota supaya mencari tahu latar belakang Abang.
Malah, Sarimah juga solat iskhtikarah hanya karena ragu-ragu kepada Abang.”
Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu
mencari tahu latar belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi istriku,
lalu aku angkat kepalanya dan kupandangi matanya.
“Abang
ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun pernah juga merasa curiga
kepadamu.”
Sarimah
tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang perempuan yang
bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut membuat aku merasa bahagia.
Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang karena kita membahagiakan orang
lain. Tetapi pertanyaanku tadi
masih
belum terjawab sepenuhnya.
“Jadi,
apa kata kawanmu?”
lanjutku
ingin tahu. Aku risau, takut kawannya membicarakan yang tidak-tidak.
“Katanya,
Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya teman, tapi
katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari kerja, mengirim
surat lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat kalau-kalau ada surat lamaran
yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia
tidak pernah melihat Abang keluar dengan perempuan. Shalat pun pasti Abang
berjamaah.”
Aku
mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu, aku pun bertanya,
“Tetapi
orang secantik dirimu pasti banyak orang yang tertarik kan? Pasti banyak yang
mau meminang dirimu, dan mungkin pasti juga yang ada sudah datang ke rumah
untuk meminang.”
Sarimah
sekali lagi tersenyum.
“Ya,
memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan Sarimah, tetapi Sarimah
sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”
“Mengapa
dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.
Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau
kakaknya sudah meninggal. Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan
banyak laki-laki yang meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki pilihan
hatinya sendiri. Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi, dan bekerja
dengan gaji yang lumayan. Sayangnya, setelah satu tahun menikah, suami kakaknya
mulai berubah karena belum juga mendapatkan anak. Dia mulai pulang terlambat,
dan suka marah-marah.
Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu sudah memiliki perempuan lain. Lalu pada hari itu, dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, aku langsung menggenggam tangan Sarimah erat-erat.
Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu sudah memiliki perempuan lain. Lalu pada hari itu, dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, aku langsung menggenggam tangan Sarimah erat-erat.
“Karena
itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki sembarangan dalam hidup
Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah mengamanahkan ayah dan ibu
untuk mencari laki-laki yang sesuai untuk Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak
tampan, tetapi lelaki itu mampu membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan
mendamaikan hati dengan agama.”
Akhirnya,
semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah memilih laki-laki sepertiku,
dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya.
Genggaman
tanganku semakin kuat.
“Abang...
Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah. Mohon bang,”
rayu
Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan kemudian menetes di pipinya
yang cantik. Aku segera menyeka air mata Sarimah.
“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang berusaha menjadi laki-laki yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu,”
“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang berusaha menjadi laki-laki yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu,”
kataku
perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku merasa, bahuku sudah basah dengan
air mata Sarimah…
selesai…